Indonesia Merdeka Hari Senin

25/08/16



*this post is written in Bahasa* 


Suatu pagi yang cerah di SDN Inpres Moilung, Sulawesi Tengah. Seorang Bu Guru sedang mengajar di kelas 5b, lalu bertanya kepada murid-muridnya. 
"Anak-anak, siapa yang tau kapan Indonesia merdeka?" 
"Aku tau!" 
"Ya, Ani. Apa jawabannya?" 
"Indonesia merdeka hari Senin, Bu!" 
"Kenapa hari Senin?" 
"Soalnya tiap hari Senin ada upacara bendera, Bu." 
Hening sesaat, 
"Ada yang punya jawaban lain?" tanya Bu Guru 
Seisi kelas menggeleng.
Cerita diatas merupakan cerita nyata, yang saya baca disini, dan kemudian dengan sesuka hatinya dielaborasi dan diberi sedikit bumbu oleh nalar dan imajinasi. Termotivasi mtuk menuliskannya disini karena satu dan banyak hal. Dari kegaduhan mengenai status kewarganegaraan menjelang tujubelasan, isu sekolah full-day, carut marut bakal calon gubernur di ibu kota, kemenangan Indonesia di partai final ganda campuran, sidang kopi Vietnam yang sungguh mengundang gelak tawa, dan yang teristimewa headline salah satu surat kabar nasional pada tanggal tujubelas yang berbunyi "Kaum Muda Merdeka Berkarya"

Duh, kalau-kalau ada yang peduli. Baru-baru ini saya menginjak kepala dua. Mereka-mereka yang muncul di halaman surat kabar nasional tadi itu, masih muda-muda seperti saya. (re: Ghalib Kubat, Wregas Bhanuteja, Eldwin Viriya, etc) 


Dua puluh taun saya hidup kok rasa-rasanya belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa.


Bung Tomo berumur 25 tahun saat bertempur di pertempuran 10 November.

Christina Marta Tiahahu menginjak 17 tahun saat berperang melawan koloni.

W. R. Supratman umurnya 21 tahun saat menyanyikan Indonesia Raya untuk pertama kalinya di Kongres Pemuda II.


Apa iya saya harus bergerilya puputan hingga semaput seperti begitu?


Katanya, jadi mahasiswa yang lulus tepat waktu dan tidak jadi pengangguran saja sudah meringankan beban negara kok, syukur-syukur jikalau malah membuka lapangan kerja baru. Ah tapi kok, rasanya masih saja kurang yah dibanding pemuda-pemuda di atas.


Minggu lalu saya ditampar oleh si Andrew Morgan dengan salah satu dokumenternya, The True Cost. Masih sering saya menyimpang dari jalanmu, pak Rick Ridgeway. Tak segan menunggu berbulan-bulan untuk punya merk tertentu dengan harga miring. Bantu hamba, tegur hamba, tapi jangan kau tinggalkan hamba. Inilah namanya budak-budak kapitalis. Korban-korban merk. Padahal sering cuci mata di website AOTW. Ironis. Semua iklan itu tujuannya jualan, kawan. Ya pasti ada tipu-tipunya. Kenapa sikapmu masih tak ubah jua, Bulan. Percuma saja upaya Alim Markus dan Titiek Puspa menjerit-jerit "Cintailah produk-produk Indonesiea!", masuk kuping kiri keluar kanan. Bukannya membantu, malah menambah utang negara.


Ah sial, susah kali jadi pemuda!


Awalnya ingin mencampakkan tulisan ini dengan dua bahasa biar seru, gara-garanya teman saya ada yang sedang candu main duolingo. Tapi kebetulan bulan lalu saya selesai baca buku ini dan itu. Bagus bukunya. Saya jadi semangat lagi menulis dengan Bahasa, malah jadi malas inggris.


Kalau kamu tidak semangat  membaca yang Bahasa, ya sudah tidak apa-apa. Tak ada yang paksa. Tapi kalau sudah terlanjur, ya sudah terima kasih ya. Jangan lupa mampir lagi di lain waktu.


Dan mari berharap semoga Bu Guru tidak lupa bilang pada seiisi kelas bahwa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Amin